Dua bulan yang lalu, saya pergi bersama sahabat saya
menggunakan Tesla miliknya menuju Bandung dalam perjalanan yang dadakan.
Mengendarai mobil ini sangat nyaman karena dilengkapi dengan fitur autopilot,
sehingga tidak perlu menggenggam setir selama di tol. Tidak perlu menginjak rem
atau gas, cukup mengangkat kaki dan tangan sambil ngobrol. Mobil ini juga
melaju dengan cepat, seperti mobil pintar. Bahkan, mobil ini lebih canggih
daripada mobil biasa.
Sampai di Bandung, kami menginap di sebuah hotel di wilayah
utara kota tersebut. Baru saat itu kami menyadari bahwa selama perjalanan,
tidak ada tempat untuk mengisi daya baterai mobil listrik. Baterai tinggal 8%
ketika kami tiba di hotel, jadi kami mengecharge mobil menggunakan colokan
listrik di hotel. Sayangnya, ada biaya sebesar Rp1 juta yang harus dibayar oleh
sahabat saya sebagai pemilik mobil listrik tersebut. Mobil di-charge semalaman,
namun ketika kami check-out dan siap kembali ke Jakarta, sahabat saya mengecek
baterai mobil dan terkejut karena hanya naik 5% setelah di-colokkan ke listrik
selama 15 jam. Artinya, baterai mobil masih sekitar 13% saja. Akibatnya, kami
memutuskan untuk pulang ke Jakarta menggunakan kereta api sambil sedikit
kecewa. Sahabat saya berkata, "Entar gua angkut aja pakai truk tuh mobil,
apa hebatnya punya mobil listrik di Indonesia?"
Saat membaca kalimat itu, saya terbayang anggaran triliunan
rupiah yang dikatakan sebagai subsidi untuk kendaraan listrik. Saya jadi
bertanya-tanya, subsidi itu sebenarnya digunakan untuk apa ya? Ada apa dengan
dunia kendaraan listrik ini? Jika dilihat secara global, tampaknya dunia
kendaraan mulai beralih ke penggunaan baterai sebagai penyimpan energi yang
harus di-charge menggunakan listrik. Hal ini akan mengubah kendaraan berbahan
bakar fosil seperti minyak dan batu bara. Namun, sejauh ini sepertinya hanya
sebatas strategi pemasaran belaka, tidak ada perubahan yang signifikan. Ini
bukan solusi nyata untuk lingkungan karena energi yang digunakan untuk charging
juga berasal dari sumber energi yang menghasilkan karbon, seperti kasus
charging di hotel tadi yang memakan waktu 15 jam namun hanya naik 5%. Selain
itu, bahan bakar listrik tersebut terbilang mahal dan berasal dari batu bara.
Jika kita lihat mobil listrik di dunia saat ini, pemimpinnya
adalah Tesla dengan penjualan 4 juta mobil per tahun sejak tahun 2016. Saat
ini, ada sekitar 1,44 miliar mobil di dunia, di mana 19% di antaranya berada di
Amerika dengan 250 juta mobil listrik. Jadi, hanya sekitar 15% kendaraan di
dunia yang merupakan mobil listrik. Namun, bisa kita pastikan bahwa mobil
listrik atau kendaraan listrik belum menjadi solusi yang efektif untuk
mengatasi masalah lingkungan karena jejak karbonnya masih signifikan.
Lalu muncullah teknologi hidrogen power, di mana bahan
bakarnya menggunakan hidrogen yang tidak menghasilkan karbon. Ini adalah
teknologi yang dikembangkan oleh Toyota, yang memutuskan untuk tidak
menggunakan listrik, setidaknya belum beralih sepenuhnya menjadi kendaraan listrik
berbasis baterai. Jika pengisian daya masih menggunakan sumber energi seperti
batu bara atau minyak bumi, teknologi ini mungkin bisa menjadi alternatif yang
lebih ramah lingkungan. Selain itu, ada juga inovasi yang diprakarsai oleh
Porsche, di mana mereka tidak mengubah mesin pembakaran internal seperti mobil
bensin biasa, tetapi menggunakan bahan bakar e-fire yang lebih ramah lingkungan
dan tidak menghasilkan karbon.
Namun, ketika kita bicara tentang apa yang akan terjadi
setelah tahun 2030, kita tidak dapat melakukan banyak hal sekarang untuk
memanfaatkan masa depan. Hal ini penting untuk dipahami, terutama bagi mereka
yang tertarik untuk terlibat dalam bisnis pertambangan nikel atau pembangunan
smelter nikel. Perlu diingat bahwa saat memasuki bisnis seperti itu, butuh
waktu lebih dari 1 tahun untuk mencapai tahap komersial. Jika membangun pabrik
atau smelter, bahkan bisa memakan waktu 4 tahun atau lebih hingga menjadi
komersial setelah ditandatangani perjanjian. Namun, belum tentu di masa depan dunia
masih membutuhkan nikel. Bisnis tambang juga mungkin tidak menguntungkan karena
harga nikel yang fluktuatif dan tipis keuntungannya. Bahkan, seringkali lebih
rendah dari biaya operasional dan suku bunga bank jika menggunakan pinjaman.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika saat ini banyak mencari investor yang
bersedia berbagi keuntungan, yang disebut sebagai "the last stupid
investor". Mereka yang masuk belakangan dan masih terpikat dengan
iming-iming kebutuhan nikel di masa depan untuk kendaraan bermotor. Namun, kita
harus berhati-hati karena tidak ada jaminan keberhasilan. Jadi, sahabat, jangan
sampai menjadi "the last stupid investor".
Sumber:
Mardigu Wowiek
Post a Comment for "Stop Pake Mobil Listrik..!!!"